Ilustrasi
Ilustrasi
KOMENTAR

SUNGGUH menarik apa yang diungkap Jalaluddin Rakhmat pada bukunya Membuka Tirai Kegaiban, bahwa Ramadan merupakan sebuah kata mabni pada fathah, yang harus dibaca ramadhana, bukan ramadhanu atau ramadhani. Kata Ramadan berasal dari kata al-ramdhu yang artinya saat matahari terik sekali. Ramadan artinya membakar sesuatu.

Tentunya penamaan Ramadan sebagai bulan pembakaran mempunyai maksud-maksud yang agung. Pada buku berjudul Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan, M. Quraish Shihab memperkuat pendapat sebelumnya dengan mengatakan, Ramadan terambil dari akar kata yang berarti membakar atau mengasah. Ia dinamai demikian karena pada bulan ini dosa-dosa manusia pupus, habis terbakar, akibat kesadaran dan amal salehnya. 

Atau disebut demikian karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk mengasah dan mengasuh jiwa manusia. Bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan. 

Dengan penjelasan ini kita sadar bahwa memang ada sesuatu yang harus kita bakar di bulan Ramadan. Dosa-dosa yang bertumpuk dibakar habis dengan amal saleh yang berlandaskan kesadaran, sehingga hati kita siap untuk ditaburi benih-benih kebaikan. 

Namun, menyucikan hati dengan membakar berbagai kejelekan bukan hal yang mudah. Terlebih dulu perlu kita semarakan Ramadan di hati sendiri. Kita masukkan hati itu ke dalam telaga bening yang disuguhkan bulan berlimpah keberkahan. 

Ramadan memang bulan suci, tetapi bukan jaminan hati kita jadi langsung ikut suci. Hati yang suci tidak otomatis diperoleh hanya dengan memasuki bulan Ramadan. Apalagi di bulan Ramadan pula, akibat ulah hawa nafsu, berbagai racun hati bertebaran semakin ganas; hubungan tetangga kian meruncing persaingannya gara-gara mempertontonkan kemegahan bulan Ramadan dan Hari Raya, suami istri dan anak-anak kian sering bertengkar meminta segala yang berhubungan dengan materi dan lain-lainnya.

Racun hati itu juga dapat muncul dari perasaan sok suci. Berbagai aktifitas ibadah dapat menjadi pintu masuk iblis membisikkan kesombongan. “Kamulah yang paling saleh! Kamu sudah mencapai jalan kebenaran!” bisik iblis. 

Puncaknya bisikan itu berkata, “Kamu paling benar dan yang lain salah!”

Prinsip ini sangat berbahaya, sebab dapat mengancam kehidupan orang lain. Kebenaran hakiki itu hanyalah milik Allah, kita hanya mengikuti jalan-Nya.

Merasa benar, inilah petaka hati yang menjadi hulu dari berbagai prahara. Betapa banyak orang yang mengaku mencapai tingkat spiritual tinggi, tapi malah menghakimi dan menyakiti pihak lain. Inilah akibat dari hati yang gagal meresapi hakikat membakar berbagai aspek negatif selama Ramadan. 

Padahal Ramadan menjadi bulan yang terbaik dalam membakar segala keegoan, kenistaan, kesombongan dan sifat-sifat terkutuk lainnya. Makanya jadi amat memilukan tatkala kita yang diselimuti kegiatan ibadah malah terbakar api kesombongan.

Menyejukkan Hati

Sang istri amatlah bersyukur. Persis menjelang Ramadan suami tercinta berhasil membeli vila mewah di Puncak. Artinya, Ramadan kali ini dapat dilewati di sebuah vila dan ibadah menjadi lebih syahdu. Terlebih di sana tempatnya nyaman dan sejuk. Sebab sebelum-sebelumnya, sang istri sering pusing dengan suasana Ramadan di Jakarta yang panas, polusi, dan hiruk pikuk. 

Ibadah Ramadan pasangan tajir itu berlangsung lancar, tidak ada yang akan meresahkan pikiran, suasana nyaman juga mendukung ketenangan. Saking nyamannya, sang istri dan suami mulai kebingungan, tidak terasa sama sekali lapar dan dahaga. Ibadah yang banyak dilaksanakan juga terasa hambar karena segalanya benar-benar lancar. Tubuh mereka memang sejuk, tapi hatinya membara karena tidak puas dengan kenyamanan yang terhampar.  

Selama berpuasa Ramadan bukan berarti kita menghentikan segala kegiatan, dengan alasan hendak beralih kepada ibadah semacam salat, mengaji, zikir dan sejenisnya saja. Lantas bagaimana dengan fakir miskin yang tetap berpuasa tapi tak bisa berhenti bekerja keras mencari nafkah? Bagaimana mereka yang tak punya dana dapat menikmati Ramadan dalam nuansa nyaman tapi mahal?

Demi hati yang sejuk, bukan berarti harus bermukim di tempat yang berhawa dingin. Apalah artinya cuaca sejuk kalau hatinya membara oleh kepentingan atau kesenangan duniawi. Cuaca hati tergantung usaha kita dalam memolesnya. Suhu boleh panas tapi hati yang diupayakan menjadi dingin. 

Begini maksudnya! Sesudah berhasil membakar dosa-dosa atau hal-hal negatif, maka marilah kita menyejukkan hati tersebut. 

Kita bisa menyejukkan hati dengan celupan kasih sayang Allah. Sebagaimana firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 138: “Celupan Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghah (celupan)-nya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.”

Shibghah artinya celupan. Namun, kali ini yang dibahas bukan sembarang celupan, melainkan celupan Allah. Inilah celupan yang paling indah. Kita mencelupkan hati yang sudah membakar sifat-sifat buruk itu pada shibghah Allah. Celupan yang ini akan menyejukkan hati dengan pasokan iman. Maka tercapailah hati yang tenang damai. Hati macam inilah yang sepantasnya dimiliki bagi yang berhasil ibadah Ramadannya. 

Tatkala kita berpuasa dengan melalui godaan dan tantangan berat, jangan biarkan hati panas membara. Segera celupkan hati ke dalam wadah kasih sayang Allah. Niscaya hati itu akan sejuk. Sehingga setelah Ramadan kita berhasil membawa hati yang terbaik. Hati yang membuat kita damai dalam badai sekali pun, dan selamat dunia akhirat. 

Mumpung masih di bulan Ramadan, ada baiknya kita memeriksa kembali hati, seberapa besar peluangnya untuk kembali suci? 

Apabila hati itu masih bisa diperbaiki, maka bersyukurlah. Tapi jika sudah rusak parah, tidak mungkin lagi diperbaiki. Maka berdoalah kepada Allah supaya diberi hati yang baru. Hati yang terbaik hasil latihan Ramadan yang diberkati, yaitu hati yang sifat-sifat negatifnya sudah dibakar habis lalu dicelup dalam shibghah Allah.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur